Selesai diskusi di Gandu,aku sengaja mampir ke rumah Pak Aris Panji. Sembari minum kopi yang di suguhkan dan rokok mars band aku tanya-tanya tentang pentingnya pengurangan resiko bencana (PRB).

Menurut Pak Aris,penguranga resiko bencana itu membuat atau merubah adat kebiasaan,jadi kebiasaan-kebiasaan itu di riset,sebagai contoh”daerah A kalau musim hujan pasti terjadi banjir,itu yang perlu di riset,dicari penyebabnya,baru di sosialisasikan ke masyarakat dan bagai mana cara untuk biar tidak banjir,walaupun banjir,masyarakat paling tidak tau langkah apa ketika banjir itu tiba.”,tegasnya.

Langkah-langkah untuk menuju pemahaman pengurangan resiko bencana ke masyarakat bisa di lakukan dengan,pahamkan dulu masyarakat lalu budayakan siap siaga.

Sebenarnya bencana bisa di perhitungkan”tegasnya”,itu terlihat dari kebiasaan yang sering terjadi. Sebenarnya masyarakat tau dan ngerti, bencana tiba  dan seberapa  besar bencana itu,tapi karena itu sudah menjadi budaya,masyarakat tidak memikirkan atau berupaya bagai mana untuk mencegah atau meminimalisir ancaman bencana itu.

“PRB tidak harus mahal”,tegasnya. “Sebenarnya masyarakat kita ngerti ancaman resiko bencana,cuman karena tidak terorganisir aja,kadang susah untuk merumuskan pengalaman-pengalaman kejadian bencana yang sering terjadi.”,jelasnya. Dan pada dasarnya juga masyarakat itu ngerti dengan akibat yang dilakukan itu bisa menimbulkan bencana,tapi karena keterdesakan suatu hal,seperti kebutuhan hidup,masyarakat tidak mau tau,yang penting bisa hidup. Sebagai contoh yang nyata,masyarakat tau kalau menebang hutan secara liar bisa mengakibatkan erosi dan tanah longsor,dan mereka juga tau kalau hal itu membahayakan hidupnya,tapi hal itu tetap di lakukan,itu fakta dan nyata. Dan juga karena fakto lingkungan yang masa bodoh,kurng gotong royong,itu juga bukti yang konkrit.

Pak Aris mengimbuhi bahwa pengurangan resiko bencana itu memperhitungkan bencana.